Oleh : Bendri Jaisyurrahman
Kita masih membahas lelaki pendekar. Peduli anak dan keluarga. Dan seorang pendekar tidaklah muncul tiba-tiba. Sebagai jagoan, ia hadir melalui proses panjang dari sebuah latihan yang tak kenal lelah. Jangan pernah bermimpi menjadi pendekar dengan cara-cara instan. Ia bukan layaknya The Flash yang kehadirannya muncul karena tersambar petir. Jika anda mengalami hal yang sama, alih-alih menjadi jagoan, yang terjadi malah kematian. Atau seperti Peter Parker yang mendadak menjadi Spiderman gegara digigit laba-laba. Bayangkan, begitu mudahnya menjadi seorang jagoan berbekal sebuah gigitan. Digigit sekali, jadi lelaki hebat selamanya. Enak tenan. Padahal, sejak kecil banyak anak-anak yang digigit oleh nyamuk. Namun tak jua muncul seorang jagoan bernama Mosquitoman. Mungkinkah harus yang lebih ekstrim? Digigit ular, misalnya. Bukannya jadi jagoan malah modar, bisa-bisa.
Khayalan tentang menjadi jagoan dengan cara yang singkat, harus dibuang jauh-jauh dari benak seorang lelaki pendekar. Bahkan seorang nabi Muhammad saja, meski kenabiannya merupakan ‘pemberian’ dari Allah SWT, namun perjalanan hidupnya sebelum diangkat menjadi nabi adalah sebuah masa ‘training’ yang panjang. Rasulullah tak melalui masa hidupnya dengan berleha-leha, duduk-duduk manis saja di rumah sambil santai-santai seraya menanti kapan Jibril datang melantiknya. Sama sekali tidak. Siapapun yang mengkaji sejarah hidup rasulullah akan mendapatkan fakta bahwa beliau memang dipersiapkan oleh Allah untuk menjadi ‘jagoan’ melalui serangkaian ujian dan latihan. Hingga kita dapati pada akhirnya, beliaulah sebaik-baiknya lelaki pendekar. Sebagaimana sabdanya, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling peduli terhadap keluarganya. Dan aku, paling peduli terhadap keluargaku”.
Beliaulah guru kita. Master dari segala pendekar. Dan sejarah hidupnya wajib kita telusuri. Agar kita bisa mempersiapkan diri bagaimana menjadi lelaki pendekar sesungguhnya. Hal ini khususnya ditujukan bagi yang masih belia. Mengisi masa mudanya dengan serangkaian latihan demi mempersiapkan diri jadi pendekar. Dan begitu masa ‘pelantikan’ itu tiba, yakni saat akad nikah diikrarkan, ia telah menjelma menjadi jagoan yang disegani. Inilah jalan juang lelaki pendekar.
Bermula dari Bahasa
Mari simak kembali sejarah nabi mula-mula dibesarkan. Sejak bayi beliau diserahkan pengasuhannya oleh ibunda Aminah kepada Bunda Halimah As Sa’diyah untuk disusui. Apa pasalnya? Apakah Ibunda Aminah kering air susunya? Atau sibuk menjalani karier sebagai pebisnis karena saking banyaknya orderan? Sama sekali bukan. Keputusan ibunda Aminah “mengasingkan” nabi ke daerah perkampungan sedari bayi lebih karena keinginannya untuk melatih nabi berbahasa arab yang baik. Sebab di zaman tersebut, bahasa arab di kota Mekkah sudah tercemari. Jauh dari kaedah berbahasa yang baik dan benar. Bercampur dengan bahasa gaul yang slengean di masanya. Jika nabi terbiasa berbahasa yang rusak, maka perilakunya pun memiliki cela sejak masa kanak-kanak. Dan hal ini tak boleh terjadi pada nabi.
Keinginan ibunda Aminah melatih bahasa sang nabi tentu semua atas kehendak dari Allah. Yang Maha Kuasa sedang mempersiapkan nabi agar memiliki bahasa yang baik dan cakap dalam komunikasi. Sebab bahasa amat mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Jika seseorang fasih sedari dini berbahasa yang santun maka kelak ia tumbuh menjadi pribadi yang lembut, peduli dan menghargai orang lain. Tak terbiasa membully kawan sepermainan. Isi kepalanya penuh dengan kalimat baik penuh pujian. Jika ia dizholimi, tak muncul daftar nama binatang dari lisan. Cukup ia katakan : “Rangga, apa yang kamu lakukan padaku itu, jaahaat!”. Itulah kalimat cinta meski sedang marah.
Keelokan bahasa inilah menjadi modal awal dalam pengokohan keluarga. Betapa banyak anak-anak yang saat ini tumbuh dengan bahasa yang rusak. Mereka belajar bahasa dari orang terdekat. Yakni ayah dan ibunya. Sedari dini jarang mendapatkan bahasa cinta. Alhasil, perilaku mereka tak beda jauh dengan bahasa yang mereka pelajari. Jika kata-kata kasar yang mereka terima, jadilah mereka di masa mendatang layaknya preman pasar. Suka mengancam dan memaksa. Namun jika tutur kata yang baik yang mereka serap, meski tak harus menjadi pujangga, mereka terlatih untuk bersikap mulia.
Untuk memperhalus bahasa dan tutur kata, sekaligus memperbanyak kosa kata nan indah, maka calon pendekar harus banyak berinteraksi dengan buku bacaan dan syair-syair yang menyentuh jiwa. Buku bacaan menambah khasanah akan kosa kata baru. Dan kumpulan syair memberikan ‘rasa’ akan kata-kata yang kita ucap. Dan buahnya nampak dalam kalimat yang meluncur dari lisan, khususnya di tengah situasi yang mengaduk emosi. Lelaki pendekar terlatih untuk marah yang beradab. Meski terbakar emosi tak keluar kalimat caci. Ia punya pilihan kata lain yang sejenis, “Kalian sungguh ter...la...lu!”. Inilah pendekar dalam wujud ksatria bergitar.
Memelihara Hewan
Setelah khatam menguasai bahasa Arab yang fasih hingga tumbuh menjadi pribadi yang rahmatan lil ‘alamin, nabi Muhammad kecil mulai berlatih menggembala kambing. Meski usia masih belum dewasa, Muhammad muda sudah bisa diamanahkan untuk menjaga hewan kambing milik tetangga atau kerabatnya. Ini kelak menjadi bekal baginya dalam menjadi pemimpin umat sedunia. Dan memang begitulah sejatinya tugas seorang nabi. Tak ada satupun dari nabi yang tak pernah menjadi penggembala kambing. Kalaupun ada, namanya nabila, personil JKT48. Dia ‘nabi’ palsu meski banyak pemujanya.
Hikmah dari menggembala kambing ini bisa kita lihat dalam level yang lebih besar. Bahwa jika makhluk yang tak berakal dan memiliki nafsu besar saja – yakni kambing – bisa ditundukkan dan diatur, apalagi makhluk yang bernama manusia. Begitulah juga semestinya tugas seorang pendekar. Jika terbiasa menggembala kambing, amat mudah ia ‘menggembala’ anggota keluarganya yang lain. Singkatnya, kambing aja dirawat dan dipelihara, apalagi anak dan istri. Tentu ia lebih peduli.
Maka lelaki yang siap menjadi pemimpin bagi anggota keluarganya, dapat dilihat jiwa ‘penggembala’ nya di masa muda. Tanpa berpikir bahwa seorang pendekar ujung-ujungnya jadi juragan kambing, kemudian buka lapak menjelang hari raya qurban. Bukan itu. Namun semestinya ia secara sadar melatih dirinya dengan memiliki hewan peliharaan. Tidak musti kambing. Bisa ayam, burung, kelinci dan yang semisal dengannya. Kalau kodok gimana? Maaf, kita sedang bahas sang pendekar. Bukan sang presiden di negeri antah berantah yang suka lompat sana lompat sini.
Aktivitas saat memberi makan hewan, memperhatikan kondisi fisik peliharaan, diselingi bercengkrama dengannya, dapat menjadi bekal bagi seorang lelaki untuk menjadi pendekar sejati. Ia menjadi lelaki yang bertanggung jawab bagi keluarganya. Jangan heran kalau di masa sekarang banyak lelaki yang cuek dengan anak dan istri, bisa disimpulkan dahulu di masa mudanya ia tak pernah memiliki hewan peliharaan. Atau mungkin sempat punya, tapi banyak yang terlantar dan mati karena tak dipedulikan olehnya.
Jalan panjang menjadi sosok lelaki pendekar belumlah usai. Masih panjang dan berliku. Kita tantaskan di bagian tulisan berikutnya. Namun kita peroleh kata kuncinya : lelaki yang mampu mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sedari muda, ia siap menjadi sosok pendekar idaman saat amanah pernikahan diserahkan kepadanya. Dan bagi sang wanita yang sedang berjuang mengharapkan sosok lelaki model seperti ini, setidaknya mendapatkan dua ciri calon lelaki pendekar. Jika tutur katanya baik dan santun, serta ia diketahui amat sayang dengan hewan, segera minta ia jadi suamimu. Jika tidak, engkau akan terus berada dalam penyesalan panjang, ketika ia menjadi milik orang. Dari sinilah muncul kalimat : Di balik sosok lelaki pendekar, ada banyak mantan yang menyesal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar